halving bitcoin

Cryptocurrency Bubble: Pengertian, Sejarah, Crash Timeline

Cryptocurrency bubble atau gelembung mata uang kripto adalah fenomena di mana pasar semakin mempertimbangkan harga aset mata uang kripto yang meningkat dibandingkan dengan nilai hipotetisnya. Sepanjang sepak terjang cryptocurrency, beberapa kali ditandai oleh gelembung spekulatif.

Beberapa ekonom dan investor terkemuka misalnya telah menyatakan pandangan bahwa seluruh pasar mata uang kripto merupakan gelembung spekulatif. Penganut pandangan ini termasuk Warren Buffett dan beberapa penerima Hadiah Nobel Memorial dalam Ilmu Ekonomi, gubernur bank sentral, dan investor.

Sejarah Awal Cryptocurrency Bubble

cryptocurrency bubble

Pada bulan Februari 2011, harga bitcoin pertama kali naik menjadi US$1,06, kemudian turun menjadi US$0,67 pada bulan April di tahun yang sama. Lonjakan ini didorong oleh beberapa postingan Slashdot tentang bitcoin. Kemudian, pada bulan Juni 2011, harga bitcoin kembali naik menjadi US$29,58 setelah perhatian dari artikel Gawker tentang pasar dark web Silk Road. Harganya kemudian turun menjadi US$2,14 pada bulan November di tahun yang sama.

Selanjutnya, Bitcoin kembali booming pada November 2013. harga Bitcoin naik menjadi US$1.127,45. Kemudian secara bertahap menurun, mencapai titik terendah di US$172,15 pada bulan Januari 2015. Lagi-lagi, tahun 2014-2014 menjadi cryptocurrency bubble, khususnya bagi bitcoin, dan token lainnya.

Musim dingin dan masa-masa cryptocurrency bubble berlangsung lama bagi bitcoin, setelah harga kembali naik dan stabil pada tahun 2017, sayangnya kembali terjadi kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya di tahun 2018. Keruntuhan ini dinamakan “The Great Crypto Crash”.

Sepanjang tanggal 6 Januari hingga 6 Februari 2018, harga Bitcoin turun sekitar 65%, disusul hampir semua mata uang kripto lainnya mengikuti jatuhnya Bitcoin. Puncaknya yakni pada bulan September 2018, mata uang kripto ambruk sebesar 80%, menjadikan kehancuran mata uang kripto pada tahun 2018 lebih buruk daripada keruntuhan gelembung dot-com sebesar 78%. Di tanggal 26 November tahun yang sama, Bitcoin juga turun sebesar 80% dari puncaknya, setelah kehilangan hampir sepertiga nilainya pada minggu sebelumnya.

“The Great Crypto Crash” ini bermula dari artikel CBS pada bulan Januari 2018 yang memperingatkan tentang kemungkinan penipuan, mengutip kasus BitConnect, sebuah perusahaan Inggris yang menerima perintah penghentian dan penghentian dari Dewan Sekuritas Negara Bagian Texas.

BitConnect telah menjanjikan keuntungan bulanan yang sangat tinggi namun belum terdaftar pada regulator sekuritas negara atau memberikan alamat kantor mereka.

Pada akhirnya, di bulan November 2018, total kapitalisasi pasar Bitcoin turun di bawah $100 miliar untuk pertama kalinya sejak Oktober 2017 dan harga Bitcoin turun di bawah $4,000, mewakili penurunan 80 persen dari puncaknya pada bulan Januari sebelumnya. Bitcoin pun mencapai titik terendah sekitar $3.100 pada bulan Desember 2018.

Dua tahun berselang, seakan sejarah yang terus berulang, pada bulan November 2020, Bitcoin kembali melampaui level tertinggi sepanjang masa sebelumnya di atas $19.000. Kemudian, disusul lonjakan lainnya pada 3 Januari 2021 dengan $34,792.47. Tetapi nahas, Bitcoin jatuh sebesar 17 persen pada hari berikutnya.

Namun, lonjakan kembali terjadi. Bitcoin diperdagangkan di atas $40.000 untuk pertama kalinya pada 8 Januari 2021 dan mencapai $50.000 pada 16 Februari 2021. Pada hari Rabu, 20 Oktober 2021, Bitcoin mencapai titik tertinggi baru sepanjang masa di $66,974.

Masa depan cerah seakan terlihat di bursa cryptocurrency. Pada awal tahun 2021, harga Bitcoin kembali mengalami lonjakan, naik lebih dari 700% sejak Maret 2020 dan mencapai di atas $40.000 untuk pertama kalinya pada 7 Januari.

Sayangnya, terjadinya cryptocurrency bubble seakan selalu terbaca. Pada akhir tahun 2021, Bitcoin kembali jatuh hampir 30% dari puncaknya menjadi $47,686.81 dan Ethereum jatuh sekitar 23% menjadi $3,769.70.

Pada bulan Desember 2022, The Washington Post melaporkan bahwa cryptocurrency bubble telah benar-benar muncul, membawa ‘kabur’ serta investasi miliaran dolar yang dilakukan oleh masyarakat biasa, dana pensiun, pemodal ventura, dan perusahaan tradisional.

Keadaan pun diperburuk dengan runtuhnya Terra-Luna. Pada Mei 2022, stablecoin TerraUSD turun menjadi US$0,10. Hilangnya pasak mengakibatkan Luna jatuh hampir nol, turun dari level tertingginya di $119,51. Keruntuhan tersebut menghapus kapitalisasi pasar sebesar $45 miliar dalam seminggu.

Pada tanggal 25 Mei, sebuah proposal disetujui untuk menerbitkan kembali mata uang kripto Luna baru dan memisahkan serta meninggalkan stablecoin UST yang terdevaluasi. Koin Luna yang baru kehilangan nilainya pada hari-hari pembukaan pencatatannya di bursa. Setelah keruntuhan Terra-Luna, stablecoin algoritmik lainnya, DEI, kehilangan patokannya terhadap dolar dan mulai runtuh.

Bitcoin Dianggap Spekulatif

Penambang Bitcoin
Ilustrasi Bitcoin mining. Gambar: Neirametrics

Hingga hari ini, Bitcoin telah dikategorikan sebagai gelembung spekulatif oleh delapan pemenang Hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi. Investor Warren Buffett dan George Soros juga menekankan bahwa Bitcoin hanyalah ‘khayalan’ dan gelembung. Pebisnis Jack Ma dan CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon juga mengatakan bahwa Bitcoin hanyalah penipuan. Namun, Dimon kemudian mengatakan bahwa dia menyesal menyebut Bitcoin sebagai penipuan.

Ditambah lagi, kehancuran FTX dan penyelidikan terhadap Binance membuat musim dingin dan masa-masa gelap cryptocurrency bubble hari ini berlangsung sangat lama. Kapankah akan rebound? Masih menjadi misteri.

Leave A Comment